PM Australia Kunjungi Indonesia, Bisakah Hubungan Kedua Negara Lebih Erat?
Sejumlah pengamat hubungan internasional berharap Australia dan Indonesia bisa memiliki hubungan yang lebih bermakna, setelah kunjungan Perdana Menteri Anthony Albanese ke Jakarta untuk bertemu Presiden Prabowo Subianto.
Mereka juga berharap kunjungan tersebut bukan hanya jadi sekedar hal yang "simbolis" atau tradisi yang sifatnya seremonial.
Sejak pemerintahan di bawah John Howard, perdana menteri Australia yang baru terpilih dalam pemilu biasanya memilih Indonesia sebagai tujuan kunjungan bilateral pertama mereka.
Mereka sering kali mengulang retorika yang sudah ada sejak pemerintahan Paul Keating, yang menyebutkan "tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia."
Kunjungan PM Albanese mengisyaratkan kalau Indonesia tetap menjadi "prioritas utama", kata Gatra Priyandita, analis senior di Australian Strategic Policy Institute (ASPI).
"Pemerintah Australia tertarik untuk memberi isyarat kalau Australia adalah bagian dari Asia dan Australia masih memprioritaskan hubungannya dengan negara-negara utama di Asia Tenggara," kata Gatra kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto menyambut PM Anthony Albanese di hotelnya, Rabu kemarin. (Instagram: sekretariat.kabinet)
Pada tahun 2022, ketika PM Albanese mengunjungi Jakarta untuk pertama kalinya sebagai perdana menteri, ia bertemu Joko Widodo, sosok presiden yang lebih dikenal karena salah satu ambisinya terhadap pembangunan infrastruktur dan ibu kota negara (IKN).
Saat itu, para pengamat mengatakan "jalan untuk mengambil hati Jokowi adalah bisnis dan investasi."
Meski ada sejumlah kemajuan dalam hubungan ekonomi, perdagangan dan investasi antara Australia dan Indonesia masih dinilai rendah selama tiga tahun terakhir.
Indonesia tidak pernah masuk dalam lima besar mitra dagang terbesar Australia, seperti yang terlihat dalam data Biro Statistik Australia.
Untuk tujuan impor Australia, Thailand menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang masuk ke peringkat lima besar.
"Australia tidak dapat menawarkan banyak hal kepada Jokowi dalam hal transaksi ekonomi, jadi ia tidak terlalu memperhatikannya," kata Professor Marcus Mietzner dari Coral Bell School of Asia Pacific Affairs di Australian National University.
Kali ini, PM Albanese akan bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto, sosok yang disebut PM Albanese sebagai "sahabat baik."
Presiden Prabowo, dengan latar belakang militernya, sepertinya akan lebih mempertimbangkan sektor non-ekonomi, misalnya soal pertahanan dan keamanan di kawasan.
"Jadi, Albanese dapat menyoroti dimensi non-ekonomi saat menonjolkan pentingnya Australia," kata Profesor Marcus kepada ABC Indonesia.
Sejak kunjungan terakhir PM Albanese ke Jakarta, sudah banyak latihan militer gabungan yang dilakukan Australia dan Indonesia.
Tapi Gatra dari ASPI mengatakan hubungan militer kedua negara saat ini "kurang memiliki daya tarik strategis."
Gatra membandingkannya dengan kerja sama pertahanan dan keamanan antara kedua negara di masa lalu, seperti upaya kontraterorisme di tahun 2000, serta 'Bali Process' yang digagas untuk menangani penyelundupan manusia.
"Kami belum melihat sesuatu yang punya skala yang sama saat ini," kata Gatra.
Perlu perbincangan yang lebih terbuka
Tidak diragukan lagi jika Indonesia ingin menganggap semua negara sebagai teman, berlandaskan kebijakan luar negeri yang bebas aktif.
Termasuk dengan keputusan Indonesia untuk bergabung BRICS, bersama China dan Rusia, yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai poros untuk menantang dominasi barat, di mana Australia termasuk di dalamnya.
Di saat hubungan antara kedua negara masih "sangat dangkal", Gatra mengatakan sudah saatnya bagi Australia dan Indonesia untuk "mengakui dengan jujur" apa yang menjadi keterbatasan dan hambatan dalam menjalani hubungan bilateral.
"Kita perlu memikirkan cara strategis untuk melangkah maju, mengatasi beberapa masalah besar yang muncul saat dunia semakin terpecah" kata Gatra.
Menurutnya, rasa curiga terhadap satu sama lain menjadi hal yang wajar bagi kedua negara dengan perbedaan budaya dan sejarah.
Namun rasa curiga ini juga membuat hubungan bilateral menjadi sulit untuk dibawa ke tingkat yang lebih bermakna.
"Sangat sulit untuk melihat hubungan yang lebih dari sebatas teman atau menjadi sahabat. Karena ada perbedaan strategis yang mendalam antara kedua negara," katanya.
"Di satu sisi, kedua negara mengakui ancaman yang timbul dari kebangkitan China. Namun, di sisi lain, mereka memiliki perspektif yang berbeda tentang cara menanggapinya."
"Australia jelas telah bergerak lebih dekat ke Amerika Serikat melalui kesepakatan AUKUS dan Quad-nya."
Salah satu latihan militer bersama yang dilakukan Australia dan Indonesia pada tahun 2024 lalu yang diberi nama 'Keris Woomera'. (Foto: Koleksi Departemen Pertahanan Australia)
Sementara, menurut Gatra, Indonesia melihat Amerika Serikat sebagai penyeimbang kekuatan China tapi juga negara "adikuasa yang rakus."
"Jadi, kita belum akan menjadi sahabat dekat. Tapi itu tidak masalah," kata Gatra.
"Yang penting dengan menjadi teman masih bisa bekerja sama, kan? [Kita] masih bisa hidup rukun."
Setidaknya, untuk saat ini, kunjungan PM Albanese ke Jakarta menjadi langkah awal untuk kembali saling mengenal, khususnya dengan sosok Prabowo Subianto yang juga belum setahun menjadi presiden.
"Penting bagi Albanese untuk membangun chemistry pribadi dengan Prabowo, seperti yang dilakukan Paul Keating dengan Soeharto," kata Profesor Mietzner.
"Tapi itu akan memakan waktu lebih lama ketimbang hanya kunjungan satu hari," ujarnya kepada ABC Indonesia.